Kamis, 07 Januari 2016

TRI SANDHYA



Semua orang ingin mendekatkan dirinya kepada Tuhan, untuk mohon perlindungan. Perasaan diri dekat dengan Tuhan dapat menyebabkan seseorang merasa tenang dan damai, karena ia yakin bahwa Tuhan akan melindungi dirinya dari malapetaka, ibarat seorang anak akan merasa dirinya aman dan damai jika ia berada dipangkuan orangtuanya, karena ia merasa dilindungi.
Disamping itu orang yang merasa dirinya dekat dengan Tuhan akan member pengaruh kesucian pada dirinya, karena Tuhan bersifat mahasuci. Seperti halnya sebatang besi yang didekatkan dengan besi magnet maka besi itupun akan menjadi magnit pula. Ada banyak cara orang mendekatkan diri dengan Tuhan salah satunya adalah dengan melakukan puja Tri Sandhya.
Puja Tri Sandhya merupakan ibu mantra dan intisari dari seluruh mantra-mantra Weda yang mampu membawa umat manusia menuju ke arah kehidupan yang harmonis (mokṣa). Mantra Puja Tri Sandhya merupakan media yang paling sesuai digunakan pada zaman Kali, di mana manusia dalam waktu hidup yang singkat harus berlomba dengan waktu demi memenuhi kebutuhan jasmaninya sehingga manusia tak punya banyak waktu untuk memenuhi kebutuhan rohani seperti yang dilakukan oleh Mahārṣi terdahulu sebagai contoh melakukan tapa yang cukup lama. Dalam sastra suci Weda disebutkan bahwa melakukan ‘Japa’ atau menyebut nama suci Tuhan berulang-ulang merupakan salah satu cara yang paling baik untuk meningkatkan spritualitas seseorang di zaman Kali ini dan dengan melakukan puja Tri Sandhya berarti Japa-pun sudah kita lakukan.
Mantra Puja Tri Sandhya merupakan intisari dari seluruh mantra-mantra suci Weda, hal ini dikarenakan mantra Puja Tri Sandhya telah mencakup segala jenis aspek dan pujian kepada Brahman atau Tuhan Yang Maha Esa dan di antaranya;
1.      Dengan melakukan Puja Tri Sandhya berarti kita telah melakukan Japa, karena kita telah mengucapkan mantra suci ‘Om’ dalam setiap baitnya yang berarti kita telah menyebut akṣara suci Tuhan secara berulang. Dimana kata ‘Om’ memiliki arti ‘Brahman’.
2.      Dengan melakukan Puja Tri Sandhya berarti kita telah mengakui dan memuji Keagungan Tuhan dalam bentuk pengucapan ‘mantra Gayatri’ yang terletak pada bait pertama. ‘Gayatri mantra’ adalah mantra yang paling mulia di antara semua mantra. Ia adalah ibu mantra, dinyanyikan oleh semua orang beragama Hindu waktu sembahyang. Mantra ini paling mulia karena :
Suatu sebab mengapa gayatri dipandang dan yang mewakili segala di dalam Veda ialah karena ia adalah doa untuk daya kekuatan yang dapat dimiliki orang ialah: “dhi” yaitu kecerdasan yang tinggi yang memberikan padanya pengetahuan, materi dan kemampuan mengatasi hal-hal keduniawian. Sebagai halnya mata bagi badan, demikian “dhi” atau kecerdasan untuk pikiran.
Bait ke-1 bersumber dari Reg Veda III. 62. 10 :
Om om om
Oṁ bhūr bhuvaḥ svaḥ
tat savitur vareṇyaṁ
bhargo devasya dhīmahi
dhiyo yo naḥ pracodayāt
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, kami menyembah kecemerlangan dan kemahamuliaan Sang Hyang Widhi yang menguasai bumi, langit dan sorga, semoga Sang Hyang Widhi menganugrahkan kecerdasan dan semangat pada pikiran kami.
Dengan mengucapkan mantra ini berarti kita telah mengakui keagungan Tuhan yang telah memberi manusia kecerdasan dan pengetahuan yang menjadikan manusia sebagai makhluk yang paling beruntung, 
3.      Dengan melakukan Puja Tri Sandhya berarti kita telah mengakui ‘Tuhan hanya satu dan merupakan sumber dari segalanya’ dan beliau disebut ‘Narayana’. Hal ini tercantum dalam bait kedua.
Bait ke-2 bersumber dari Narayana Upanisad :
Oṁ nārāyaṇa evedaṁ sarvaṁ
yad bhūtaṁ yac ca bhavyam
niṣkalaṅko nirañjano nirvikalpo
nirākhyātaḥ śuddho  devo eko
nārāyaṇaḥ  na dvitīyo ‘sti kaścit
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, semua yang ada berasal dari Sang Hyang Widhi baik yang telah ada maupun yang akan ada, Sang Hyang Widhi bersifat gaib tidak ternoda tidak terikat oleh perubahan, tidak dapat diungkapkan, suci, Sang Hyang Widhi Maha Esa, tidak ada yang kedua.
Mantra ini adalah salah satu dari suatu rangkaian mantra yang panjang disebut Catur Veda Sirah (Empat Veda Kepala). Catur Veda Sirah ini adalah salinan Nārāyaṇa Upaniṣad, sebuah Upaniṣad kecil. Di sini dinyatakan bahwa Tuhan adalah segalanya yang luput dari segala noda.
4.      Dengan melakukan Puja Tri Sandhya berarti kita telah mengakui bahwa Tuhan itu Maha Kuasa dan memiliki banyak manifestasi atau nama (visvarupam). Hal ini tercantum dalam bait ketiga.
Bait ke-3 bersumber dari Siva Stava :
Oṁ tvaṁ śivaḥ tvaṁ mahādevaḥ
īśvaraḥ parameśvaraḥ
brahmā viṣṇuśca rudraśca
puruṣaḥ parikīrtitāḥ
Terjemahan
Om Sang Hyang Widhi, Engkau disebut Siwa yang menganugrahkan kerahayuan, Mahadewa (dewata tertinggi), Iswara (mahakuasa). Parameswara (sebagai maha raja diraja), Brahma (pencipta alam semesta dan segala isinya), Visnu (pemelihara alam semesta beserta isinya), Rudra (yang sangat menakutkan) dan sebagai Purusa (kesadaran agung).
Aspek yang berikutnya,
5.      Dengan melakukan Puja Tri Sandhya kita telah mengakui kesalahan dan dosa yang telah kita perbuat. Sehingga pada bait ini kita memohon perlindungan diri kepada Tuhan dan memohon kesucian jiwa dan raga. Adapun bunyi bait keempat dari mantra Puja Tri Sandhya sebagai berikut.
Bait ke-4 bersumber dari Ksama maha deva stuti :
Oṁ pāpo ‘haṁ pāpakarmāhaṁ
pāpātmā pāpasaṁbhavaḥ
trāhi māṁ puṇḍarīkākṣaḥ
sabāhyā bhyantaraḥ ‘śuciḥ
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, hamba ini papa, perbuatan hambapun papa, kelahiran hamba papa, lindungilah hamba Sang Hyang Widhi, Sang Hyang Widhi yang bermata indah bagaikan bunga teratai, sucikan jiwa dan raga hamba.
Pemuja mengatakan dirinya serba hina serba kurang serba lemah. Hina kerjanya, hina diri pribadinya, hina lahirnya. Karena itu ia mohon kepada Tuhan untuk dilindungi dan dibersihkan dari segala noda. Tuhanlah pelindung tertinggi dan Tuhanlah melimpahkan kesucian untuk dia yang setia mengamalkan ajaran-Nya. Dalam mantra ini pemuja mengatakan pengakuannya bahwa ia adalah mahluk yang lemah.
6.      Dengan melakukan Puja Tri Sandhya berarti kita telah memohon pengampunan dosa kepada Tuhan. Dalam bait ini kita telah mengakui bahwa Tuhan adalah Maha Pelindung dan Penyelamat yang akan mengampuni seluruh dosa dalam wujud Beliau sebagai Sadā Śiwa. Adapun bunyi dari bait ke-lima sebagai berikut.
Bait ke-5 bersumber dari Ksama maha deva stuti :
Oṁ kṣamasva maṁ mahādevaḥ
sarva prāṇi hitaṅkaraḥ
maṁ moca sarva pāpebhyaḥ
Pālayasva sadāśiva
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah hamba, Sang Hyang Widhi yang maha agung anugrahkan kesejahteraan kepada semua makhluk. Bebaskanlah hamba dari segala dosa lindungilah hamba Om Sang hyang Widhi.
Dalam mantram ini pemuja mengatakan pengakuannya bahwa ia adalah mahluk yang lemah.
7.      Dengan melakukan Puja Tri Sandhya berarti kita telah memohon pengampunan dosa kepada Tuhan. Kita telah menyadari dan mengakui segala jenis dosa yang telah kita perbuat, baik dosa perbuatan, perkataan, dan pikiran. Berikut ini adalah mantra dari bait ke-enam Puja Tri Sandhya.
Bait ke-6 bersumber dari Ksama maha deva stuti :
Oṁ kṣantavyaḥ kāyiko doṣaḥ
kṣantavyo vāciko mama
kṣantavyo mānaso doṣaḥ
tat pramādāt kṣamasva mām
Terjemahan:
Om Sang Hyang Widhi, ampunilah dosa yang dilakukan oleh badan hamba, ampunilah dosa yang keluar melalui kata kata hamba, ampunilah dosa pikiran hamba, ampunilah hamba dari kelalaian hamba.
Dalam bait ini disebutkan, apa saja dosa anggota badan, apa saja dosa kata-kata dan apa saja dosa pikiran, pemuja memohon kepada Tuhan untuk diampuni. Manusia tidak dapat bebas dari dosa karena ia diselubungi oleh khilaf dan lalai. Bila seseorang dapat membersihkan diri dengan amal kebajikan maka kabut kekhilafan yang menyelubungi sang diri akan menipis dan akan memancarkan cahaya kesucian dari sang diri yang mengantar seseorang ke alam kesadaran. Atas dasar ini kelepasan akan lebih mudah diperoleh. Akhirnya setelah mengucapkan mantra terakhir dari Puja Tri Sandhya pada bait ke-enam, pemuja lalu mengucapkan mantra penutup, yang bertujuan untuk memperoleh kedamain (keharmonisan) setelah mengucapkan keenam bait yang ada dengan penuh keyakinan dan konsentrasi. Mantra penutup itu berbunyi:
Oṁ Śāntiḥ, Śāntiḥ, Śāntiḥ, Oṁ.
Terjemahan :
Om Sang Hyang Widhi anugrahkanlah kedamaian (damai di hati), kedamaian (damai di dunia), kedamaian selalu.
Dari penjabaran tentang mantra Puja Tri Sandhya di atas dapat disimpulkan bahwa, mantram Tri Sandhya merupakan ibu mantra intisari Weda. Karena dalam mantra ini terdapat mantra Gayatri dan mencakup seluruh aspek. Mulai dari memuji ke-Agungan Tuhan, mengakui bahwa Tuhan hanya satu, mengakui banyak manifestai Tuhan, pengakuan akan dosa yang telah kita lakukan, Memohon perlindungan Tuhan dan mempercayai bahwa Tuhan adalah pengampun seluruh dosa, dan lain-lain.
Daftar Pustaka:
        Sura, I Gede dan Sindhu, Ida Bagus Kade. 1992. Ajaran KeTuhanan dan Sembahyang dalam Agama Hindu. Kungkungan
        Wiana, I Ketut. 1987. Arti dan Fungsi Sarana Persembahyangan. Jakarta: Yayasan Wisma Karma Jakarta
      (Sumber bacaan : “Tri Sandhya, Sembahyang dan Berdoa” oleh I Made Titib; Vedasastra; apagung).




SWASTIKA dan OM SWASTIASTU



SWASTIKA
Swastika () (Sansekerta: स्वस्तिक) adalah salib sama sisi dengan empat lengan ditekuk di 90 derajat. Bukti arkeologi paling awal penggunaan ornamen swastika ditemukan sejauh Peradaban Lembah Indus, India Kuno. Swastika juga telah digunakan dalam berbagai peradaban kuno lainnya di seluruh dunia (Cina, Jepang, Eropa, Amerika, Afrika dan masih banyak lagi).
Sering digunakan di dalam agama-agama India, khususnya di Hindu, Buddha, dan Jainisme, terutama sebagai simbol tantra untuk membangkitkan shakti atau simbol suci keberuntungan.
Kata “swastika” berasal dari bahasa Sansekerta svastika – “su” yang berarti “baik,” “asti” yang berarti “menjadi,” dan “ka” sebagai akhiran. Swastika secara harfiah berarti “untuk menjadi baik”. Atau terjemahan lain dapat dibuat: “swa” adalah “diri yang lebih tinggi”, “asti” yang berarti “menjadi”, dan “ka” sebagai akhiran, sehingga terjemahan dapat diartikan sebagai “yang dengan diri yang lebih tinggi”.
Selanjutnya yang perlu kita pahami bersama adalah apa makna yang berada di balik ucapan Om Swastiastu tersebut. OM adalah aksara suci untuk Sang Hyang Widhi. Istilah Om ini merupakan istilah sakral sebagai sebutan atau seruan pada Tuhan Yang Mahaesa. Om adalah seruan yang tertua kepada Tuhan dalam Hindu. Setelah zaman Puranalah Tuhan Yang Mahaesa itu diseru dengan ribuan nama. Kata Om sebagai seruan suci kepada Tuhan yang memiliki tiga fungsi kemahakuasaan Tuhan. Tiga fungsi itu adalah, mencipta, memelihara dan mengakhiri segala ciptaan-Nya di alam ini. Mengucapkan Om itu artinya seruan untuk memanjatkan doa atau puja dan puji pada Tuhan.
Dalam Bhagawad Gita kata Om ini dinyatakan sebagai simbol untuk memanjatkan doa pada Tuhan. Karena itu mengucapkan Om dengan sepenuh hati berarti kita memanjatkan doa pada Tuhan yang artinya ya Tuhan.
Kata Swastiastu terdiri dari kata-kata Sansekerta: SU + ASTI + ASTU,
Su artinya baik,
Asti artinya adalah,
Su + Asti = Swasti
Setelah mengucapkan Om dilanjutkan dengan kata swasti. Dalam bahasa Sansekerta kata swasti artinya selamat atau bahagia, sejahtera. Dari kata inilah muncul istilah swastika, simbol agama Hindu yang universal. Kata swastika itu bermakna sebagai keadaan yang bahagia atau keselamatan yang langgeng sebagai tujuan beragama Hindu. Lambang swastika itu sebagai visualisasi dari dinamika kehidupan alam semesta yang memberikan kebahagiaan yang langgeng.
Menurut ajaran Hindu alam semesta ini berproses dalam tiga tahap. Pertama, alam ini dalam keadaan tercipta yang disebut Srsti. Kedua, dalam keadaan stabil menjadi tempat dan sumber kehidupan yang membahagiakan. Keadaan alam yang dinamikanya stabil memberikan kebahagiaan itulah yang disebut swastika. Dalam istilah swastika itu sudah tersirat suatu konsep bahwa dinamika alam yang stabil itulah sebagai dinamika yang dapat memberikan kehidupan yang bahagia dan langgeng. Dinamika alam yang stabil adalah dinamika yang sesuai dengan hak asasinya masing-masing. Ketiga, adalah alam ini akan kembali pada Sang Pencipta. Keadaan itulah yang disebut alam ini akan pralaya atau dalam istilah lain disebut kiamat.
Astu artinya mudah-mudahan atau semoga. Kata astu sebagai penutup ucapan Swastiastu itu berarti semoga. Jadi arti keseluruhan OM SWASTIASTU adalah “Semoga ada dalam keadaan baik atas karunia Hyang Widhi”. Jika ditelusuri lebih lanjut, Kata Swastiastu sangat erat kaitnnya dengan simbol suci Agama Hindu yaitu SWASTIKA. Swastika merupakan dasar kekuatan dan kesejahteraan Buana Agung (Makrokosmos) dan Buana Alit (Mikrokosmos). Bentuk Swastika ini dibuat sedemikian rupa sehingga mirip dengan galaksi atau kumpulan bintang-bintang di cakrawala yang merupakan dasar kekuatan dari perputaran alam ini. Keadaan alam ini sudah diketahui oleh nenek moyang kita sejak dahulu kala dan lambang Swastika ini telah ada beribu-ribu tahun sebelum Masehi.
Dengan mengucapkan panganjali Om Swastiastu itu, sebenarnya kita sudah memohon perlindungan kepada Sang Hyang Widhi yang menguasai seluruh alam semesta ini. Dan dari bentuk Swastika itu timbullah bentuk Padma (teratai) yang berdaun bunga delapan (asta dala) yang kita pakai dasar keharmonisan alam, kesucian dan kedamaian abadi.
Pengertian Swastiastu dalam beberapa kamus :
  1. Kamus Bahasa Bali Kata “Swastyastu” berasal dari kata suasti, yang berarti selamat, menjadi suastiastu yang berarti semoga selamat. 
  2. Kamus Kawi-BaliSwastyastu berasal dari kata swasti yang berarti raharja, rahayu, bagia, dan rahajeng. Astu yang berarti dumadak, patut, sujati, sinah. Kata astu berkembang menjadi “Astungkara” yang berarti puji, alem dan sembah. Sehingga “swastyastu” berarti semoga selamat, semoga berbahagia
  3. Kamus Jawa Kuna-IndonesiaSwasti” berarti kesejahteraan, nasib baik, sukses; hidup, semoga terjadilah (istilah salam pembukaan khususnya pada awal surat atau dalam penerimaan dengan baik). Sedangkan “astu” memiliki 2 arti yaitu: 1. Semoga terjadi, terjadilah…. (seringkali pada awal sesuatu kutuk, makian, berkah, ramalan), pasti akan….. 2. Nyata-nyata, sungguh-sungguh (campuran dengan “wastu”?). Kata "astu" berkembang menjadi “astungkara” yang berarti berkata “astu”, mengakui, mengiyakan dengan segan, perkataan “astu”. Dari pengertian tersebut kata “swastyastu” berarti semoga terjadilah nasib baik, sungguh sejahtera. 
  4. Kamus Sanskerta-IndonesiaSvasti” berarti hujan batu es, salam, selamat berpisah, selamat tinggal. Berkembang menjadi “svastika”, “svastimukha”, “svastivacya”. Kata svastika berarti tanda sasaran gaib, tidak mendapat halangan, pertemuan empat jalan, lambang agama Hindu. Svastimukha berarti yang belakang, terakhir, penyanyi, penyair. Svastivacya berarti salam ucapan selamat. Kata “astu” berarti sungguh, memuji. Dari pengertian kedua kata tersebut dapat disimpulkan “svastiastu” berarti menyatakan selamat berpisah. 
Dari beberapa pengertian kata dalam kamus-kamus tersebut, dapat ditarik sebuah benang merah yang saling terkait satu sama lainnya yaitu: 
  • pengertian “Swastyastu” dalam kamus Bahasa Bali, Kawi Bali dan Jawa Kuna memiliki pengertian yang hampir sama, yaitu berarti semoga selamat, semoga bahagia, semoga sejahtera. Sedangkan dalam kamus Sanskerta berarti pernyataan selamat berpisah, selamat tinggal. 
  • kata “astu” sebagai penutup hanya mempertegas kata “svasti” yang memang memiliki arti semoga, selamat berpisah, selamat jalan. 
Pada dasarnya pengertian “swastyastu” pada keempat kamus itu adalah sama, saling melengkapi satu sama lainnya, yaitu Ya Tuhan semoga kami selamat, selamat tinggal dan semoga sejahtera (Semoga sejahtera dalam lindungan Hyang Widhi), tidak ada manusia yang hidup di dunia ini tidak mendambakan keselamatan atau kerahayuan di bumi ini. Selamat tinggal disini maksudnya adalah selamat tinggal pada hal-hal sebelumnya yang telah dialami atau dilalui dan semoga selamat dan sejahtera pada apa yang akan dialami atau dilalui pada kehidupan sekarang. Dalam hidup tidak bisa dipisahkan dari tiga waktu yaitu: atita, nagata, dan wartamana (dahulu, sekarang, dan yang akan datang). 
Dalam penggunaannya pada kehidupan sehari-hari kata “swastyastu” diawali dengan kata “Om” sebagai ucapan aksara suci Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Sehingga menjadi “Om Swastyastu”. Kata ini biasa atau lumrah digunakan sebagai salam pembuka (selain swastiprapta, yang berarti selamat datang) kemudian diakhiri dengan “Om Santih, Santih, Santih Om” yang berarti semoga damai di hati, damai di dunia, dan damai di akhirat (selain swastimukha yang berarti salam penutup yang belakang).


PERBEDAAN KLENTENG DAN VIHARA



Klenteng atau kelenteng (bahasa Hokkian: miao) adalah sebutan untuk tempat ibadah penganut  kepercayaan tradisional Tionghoa di Indonesia pada umumnya.
Dikarenakan di Indonesia, penganut kepercayaan tradisional Tionghoa sering disamakan sebagai penganut agama Konghucu, maka klenteng dengan sendirinya sering dainggap sama dengan tempat ibadah agama Konghucu. Di beberapa daerah, klenteng juga disebut dengan istilah tokong. Istilah ini diambil dari bunyi suara lonceng yang dibunyikan pada saat menyelenggarakan upacara.
Kelenteng adalah istilah “generic” untuk tempat ibadah yang bernuansa arsitektur Tionghoa, dan sebutan ini hanya dikenal di pulau Jawa, tidak dikenal di wilayah lain di Indonesia, sebagai contoh di Sumatera mereka menyebutnya bio; di Sumatera Timur mereka menyebutnya am dan penduduk setempat kadang menyebut pekong atau bio; di Kalimantan di etnis Hakka mereka sering menyebut thai Pakkung, pakkung miau, shinmiau. Tapi dengan waktu seiring, istilah ‘kelenteng’ menjadi umum dan mulai meluas penggunaannya.
Klenteng bagi masyarakat Tionghoa tidak hanya berarti sebagai tempat ibadah saja. Selain Gong-guan (Kongkuan), Klenteng mempunyai peran yang sangat besar dalam kehidupan komunitas Tionghoa dimasa lampau.

ASAL MULA KLENTENG
Klenteng dibangun pertama kali pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen dan dinamakan Kwan Im Teng 觀音亭. Klenteng ini dipersembahkan kepada Kwan Im (觀音dewi pewelas asih atau Avalokitesvara bodhisatva Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya lebih mengenal kata Klenteng daripada Vihara, yang kemudian melafalkannya sebagai Klenteng hingga saat ini. Klenteng juga disebut sebagai bio yang merupakan dialek Hokkian dari karakter (miao). Ini adalah sebutan umum bagi klenteng di Republik Rakyat Tiongkok.
Pada mulanya, klenteng adalah tempat penghormatan pada leluhur "Ci" (rumah abuh) atau dewa, masing-masing marga membuat "Ci" untuk menghormati para leluhur mereka sebagai rumah abuh. Para dewa-dewi yang dihormati tentunya berasal dari suatu marga tertentu yang pada awalnya dihormati oleh marga mereka. Seiring perkembangan zaman, penghormatan kepada dewa-dewi yang kemudian dibuatkan ruangan khusus yang dikenal sebagai klenteng yang dapat dihormati oleh berbagai macam marga, suku. Di dalam klenteng bisa ditemukan (bagian samping atau belakang) dikhususkan untuk abuh leluhur yang masih tetap dihormati oleh para sanak keluarga masing-masing. Ada pula di dalam klenteng disediakan tempat untuk mempelajari ajaran-ajaran atau agama leluhur seperti ajaran-ajaran KonghucuTaoisme, dan bahkan ada pula yang mempelajari ajaran Buddha. Klenteng selain sebagai tempat penghormatan para leluhur, para dewa-dewi, dan tempat mempelajari berbagai ajaran, juga digunakan sebagai tempat yang damai untuk semua golongan tidak memandang dari suku dan agama apapun.
Klenteng adalah sebutan umum bagi tempat ibadat orang Tionghoa sehingga klenteng sendiri terbagi atas beberapa kategori yang mewakili agama Taoisme , Konghucu , Buddhisme , Agama Rakyat atau Sam Kaw yang masing-masing memiliki sebutan tempat ibadat yang berbeda-beda.

KLENTENG VS VIHARA PADA ORDE BARU
Pada masyarakat awam, banyak yang tidak mengetahui perbedaan dari klenteng dan vihara. Klenteng dan vihara pada dasarnya berbeda dalam arsitektur, umat, dan fungsi. Klenteng pada dasarnya beraritektur tradisional Tionghoa dan berfungsi sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat selain berfungsi sebagai tempat spiritual. Vihara berarsitektur lokal dan biasanya mempunyai fungsi spiritual saja. Namun, vihara juga ada yang berarsitektur tradisional Tionghoa seperti pada vihara Buddhis aliran Mahayana yang memang berasal dari Tiongkok.
Perbedaan antara klenteng dan vihara kemudian menjadi rancu karena peristiwa Gerakan 30 September pada tahun 1965. Imbas peristiwa ini adalah pelarangan kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan tradisional Tionghoa oleh pemerintah Orde Baru. Klenteng yang ada pada masa itu terancam ditutup secara paksa. Banyak klenteng yang kemudian mengadopsi nama dari bahasa Sanskerta atau bahasa Pali yang mengubah nama sebagai vihara dan mencatatkan surat izin dalam naungan agama Buddha demi kelangsungan peribadatan dan kepemilikan, sehingga terjadi kerancuan dalam membedakan klenteng dengan vihara. Setelah Orde Baru digantikan oleh Orde Reformasi, banyak vihara yang kemudian mengganti nama kembali ke nama semula yang berbau Tionghoa dan lebih berani menyatakan diri sebagai klenteng daripada vihara atau menamakan diri sebagai Tempat Ibadah Tridharma (TITD)

VIHARA
Wihara, umumnya berbentuk seperti bangunan biasa saja, malah kadang ada yang bentuknya seperti rumah tingkat atau gedung besar.
Perbedaan yang paling dasar sebenernya adalah, Wihara itu untuk umat Budha, sedangkan Klenteng atau Miao atau Bio, itu untuk aliran Konghucu, karena di Indonesia waktu Orde baru sempet terjadi pelarangan atas budaya Tionghoa termasuk di dalamnya keberadaan Klenteng, makanya banyak Klenteng yang mengubah namanya (Di-Indonesia-kan) menjadi Wihara, misalnya Klenteng Jin De Yuan di petak sembilan, salah satu Klenteng tertua di Jakarta, mengindonesiakan namanya menjadi Wihara Dharma Bhakti.
Wihara umumnya tidak memiliki banyak patung, biasanya cuma patung Budha saja, atau patung Kwan Yin, sementara kalau di Klenteng itu banyak patung-patung dewa dan lilin-lilin besar. Di Wihara juga biasanya umat beribadah dengan berjemaat, beramai-ramai dan ada jam-jam ibadahnya sedangkan Klenteng, umat bias beribadah sendiri-sendiri, bias pasang Dupa sendiri, dan umumnya ibadahnya ada flow nya, dari satu dewa ke dewa yang lain yang ada di altar yang beda-beda pula. Jadi Perbedaan antara Klenteng dan Vihara adalah:
Wihara :
1.Tempat Ibadah Agama Budha
2. Bentuknya lebih Modern (umumnya)
3. Patungnya sedikit, biasanya Cuma patungBudha
4. Ibadah secara berjemaat
Klenteng :
1. Tempat Ibadah Aliran Konghucu
2. Berarsitektur Tradisional Cina dengan dominasi warna merah dan ornament-ornamen naga, lampion, dll.
3. Ada tempat pembakaran kertas (ini buat bakar uang-uangan yang katanya dikirim buat arwah leluhur)
4. Banyak patung dewa-dewi dari yang kecil sampe yang gede
5. Ibadah bias secara individu